banner syari

Kecap-Kecap Pembodohan Ummat

Pemilu 2009 menjadi ladang bisnis iklan politik yang menggiurkan. Yang namanya iklan tentu penuh kecap dan janji-janji. Benarkah iklan-iklan politik ini telah membodohi rakyat?

Gong obral janji menjelang Pemilu 2009 telah dibunyikan sejak 12 Juli lalu. Selama 9 bulan ke depan, hingga 5 April 2009 nanti, atmosfer Indonesia bakal dipenuhi kecap dan janji-janji muluk para calon presiden dan partai-partai untuk menangguk dukungan rakyat. Sepanjang jalan, sejauh mata memandang dan ke arah mana kaki kita melangkah seakan tiada ruang kosong bagi iklan politik, janji-janji politikus yang berjanji mensejahterakan rakyatnya.

Pemandangan ini, sebentar lagi pasti akan menguasai kesadaran rakyat menjelang pemilu 2009. Para operator rezim dan partai politik akan mencekokkan pemahaman bahwa pemilu adalah pintu ajaib menuju Indonesia baru. Dengan melampauinya, seolah-olah bangsa ini akan mencapai kondisi baru yang lebih baik, lebih mapan, lebih hebat dan lebih segata-galanya. Seolah setelah melewati pintu hajatan politik itu, Indonesia akan lahir kembali tanpa kemiskinan dan kesengsaraan.

Padahal, di tengah persiapan KPU yang tak semeriah lima tahun yang lalu, rakyat yang ngerumpi di pinggir jalan kini mulai bertanya-tanya, benarkah pemilu 2009 adalah solusi untuk bangkit dari keterpurukan bangsa ini. Di berbagai daerah, karena apatisme politik yang melanda masyarakat, rakyat lebih banyak memilih untuk tidak memilih, sehingga Golput justru menjadi pemenang berbagai pilkada.

Iklan Politik


Bisnis iklan politik memang sedap. Para konsultan politik pun mengakuinya. Misalnya Rizal Mallarangeng, pendiri Jasa Konsultan Strategi dan Politik Foxindonesia yang kemudian bertekad maju menjadi calon presiden nanti. "Biaya untuk menjangkau kesadaran publik melalui media berkisar antara Rp 15 per kapita. Jika menggunakan pawai dan acara-acara sejenisnya biaya membengkak menjadi Rp 1.000 tak terhingga per kapita," ujarnya.

Subiakto, CEO Hotline Advertising juga mengakui bahwa bisnis politik yang satu ini memang sangat menggiurkan. Ketika menangani kampanye SBY-JK ia mengaku menghabiskan dana sekitar Rp 30 miliar. Sementara, ketika menukangi kampanye pasangan calon gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo ia menghabiskan dana sekitar Rp 20 miliar dengan margin keuntungan bersih masuk kantong sekitar 20-30 %.

Menurut Irfan Wachid, dari 25 Frame Indonesia Production, seorang politikus nasional telah menghabiskan uang Rp 5-10 miliar/bulan hanya untuk biaya poles diri, poles senyum mematut penampilan di hadapan rakyat pemilihnya. Sementara, politisi di daerah menghabiskan Rp 1-5 miliar per bulan hanya untuk urusan mejeng. Iklan-iklan Hidup Adalah Perbuatan milik Soetrisno Bachir misalnya telah menghabiskan dana Rp 2 miliar.

Hujan duit di ladang iklan ini pun akan berlanjut menjelang Pemilu 2009 ini. Sebagai perbandingan, Subiakto menjelaskan bahwa belanja iklan Indonesia tahun 2007 sekitar Rp 40 triliun dan sekitar Rp 10 triliun adalah belanja iklan politik. Ia memperkirakan, pada tahun 2008 - 2009 ini besaran belanja iklan akan meningkat 3 4 kali lipat lebih besar dari angka-angka di atas.

Iklan politik memang sangat diminati politikus. Survey Kompas edisi Minggu 20 Juli 2008 mendapatkan hitungan menarik yang bisa menjadi acuan para politisi. Menurut hasil survey itu, model iklan dengan pemasangan bendera memiliki tingkat efektivitas sebesar 44,7 persen, spanduk 44,8 persen, iklan di TV sebesar 71,7 persen, aksi pengerahan massa 71,2 persen sementara pawai atau karnaval sebesar 70,9 persen. Dari data ini, para politikus berebutan kesempatan memanfaatkan slot iklan semaksimal mungkin.

Mari kita coba menghitung urusan daerah. Saat ini ada 440 kabupaten dan 33 propinsi di Indonesia. Lima tahun mendatang ada 473 pilkada. Dalam setahun katakanlah ada sekitar 100 kali pilkada. Jika setiap pilkada hanya diikuti oleh tiga pasangan calon saja maka ada 300 pasangan calon kepala daerah. Seandainya tiap calon menghabiskan uang Rp 1 miliar hanya untuk biaya iklan politik, dalam setahun akan ada uang Rp 300 miliar yang dihabiskan untuk iklan politik. Ini jumlah minimal karena pada kenyataannya tiap pasangan calon menghabiskan dana di atas Rp 1 miliar.

Nah, untuk iklan politik partai peserta pemilu 2009 yang berjumlah 34 partai, angkanya pasti akan semakin membengkak. Apalagi setiap calon legislatif dari ke-34 partai itu juga akan "menjual diri" menjelang pemilu. Kalikanlah angka 34 partai, dengan 70 daerah pemilihan, kemudian dikalikan lagi dengan rata-rata 6 calon anggota legislatif per daerah pemilihan, kemudian dikalikan rata-rata pengeluaran duit per kandidat sebesar Rp 1 milyar. Berapa uang yang diperlukan? Rp 14,28 trilyun.

Luar biasa!

Sadarkah para politikus itu bahwa uang sebesar itu sangat berarti bagi puluhan juta rakyat Indonesia yang semakin termiskinkan akibat kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat?

Kecap Pembodohan

Lalu, dengan angka sebesar itu, apakah iklan-iklan itu bermakna buat rakyat?

Sesungguhnya iklan-iklan politik tetap saja seperti iklan yang lain. Tujuan utamanya adaah memasarkan produk. Target utamanya agar citra jualannya terdongkrak dan dibeli masyarakat. Perkara kualitas produk apakah benar-benar bisa dipertanggung- jawabkan atau tidak itu urutan ke sekian. Jika ini yang terjadi, yang sedang berlangsung saat ini adalah upaya pembodohan rakyat.

Menurut Direktur Eksekutif Reform Institue Yudi Latief, pesan-pesan iklan politik kebanyakan dangkal, serba artifisial, dan tidak otentik. "Bahkan tidak nyambung dengan kebutuhan batin rakyat," ujarnya. Dan yang terjadi adalah hukum pasar, saling klaim, saling menjelekkan kompetitor dan saling berpropaganda keunggulan diri dibanding orang lain. Inilah wajah kapitalisasi politik yang sebenarnya, keuntungan segelintir orang mengorbankan kepentingan publik yang lebih besar.

Fenomena saling mengunggulkan diri dan membunuh karakter kompetitor dengan target penjualan produk dan keuntungan diri sendiri tanpa data, fakta, pendidikan yang jujur bagi rakyat adalah watak dasar kapitalisme. Jadi, apa yang bisa kita harapkan dari politikus yang mengklaim dirinya sebagai calon pemimpin masa depan jika kelak mereka benar-benar berkuasa? [abu zahra/www.suara-islam. com]

1 comments:

Anonimmengatakan...

Ya Itulah umat yang telah teracuni Kapitalisme......

Posting Komentar

 

Mutiara Hadist

“Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku” (Abu Daud dan yang lain dalam hadist Thauban Al-Thawil,)

“Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

“Perumpamaan saya dan para Nabi sebelum saya seperti orang yang membangun satu bangunan lalu dia membaguskan dan membuat indah bangunan itu kecuali tempat batu yang ada di salah satu sudut. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan mereka ta’juk lalu berkata: ‘kenapa kamu tidak taruh batu ini.?’ Nabi menjawab : Sayalah batu itu dan saya penutup Nabi-nabi”(Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a)

“Bani Israel dipimpin oleh Nabi-nabi. Jika seorang Nabi meninggal dunia, seorang nabi lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang sesudahku; hanya para kalifah yang akan menjadi penerusku (Bukhari, Kitab-ul-Manaqib).

“Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

Postingan Terbaru

Recent Komentar