banner syari

Ekonomi Kerakyatan versi Islam

Pertarungan tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) mulai ‘memanas’. Semua mengaku siap untuk menyejahterakan rakyat. Mereka menjadikan isu ekonomi sebagai modal meraih simpati pemilih.

Isu neoliberalisme, kapitalisme, dan kerakyatan menjadi jargon kampanye. Wacana untuk membenturkan mazhab ekonomi neoliberal dan kerakyatan pun mengiringi proses pemilihan presiden (pilpres), 8 Juli mendatang.

Dengan jargon ekonomi kerakyatan, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto (Mega Pro) dituding sebagai antiasing dan kapitalisme. Sebaliknya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menggandeng Boediono (SBY Boediono) dicap sebagai penganut neoliberal. Sementara itu, pasangan Jusuf Kalla-Wiranto (JK Win) cenderung pragmatis.


Untuk merumuskan konsep ekonomi yang bakal dijual ke rakyat, setiap pasangan capres merekrut sejumlah ekonom. Dalam barisan Mega Pro, ada sejumlah nama beken seperti Sri Adiningsih (ekonom Universitas Gajah Mada), Iman Sugema (direktur eksekutif InterCafe), Bungaran Saragih (mantan menteri pertanian), dan M Prakosa (mantan menteri kehutanan).

“Mereka semua masuk ke Mega Institute karena kesamaan visi perjuangan soal pembangunan ekonomi dengan Ibu Megawati,” ujar Arif Budimanta, direktur Mega Institute, kepada Investor Daily, Selasa (19/5).

Sementara itu, pasangan JK Win diperkuat oleh Fahmi Idris (menteri perindustrian), Fuad Bawazier (mantan menteri keuangan), Kwik Kian Gie (mantan menko perekonomian), Sofjan Wanandi (ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia), Tadjudin Noer Said (anggota KPPU), dan Dradjad Wibowo (anggota Komisi XI DPR dari Partai Amanat Nasional/PAN). Beberapa ekonom seperti Fadhil Hasan, Aviliani, Erani Yustika, dan Ichsan Modjo ikut dalam tim ekonomi JK Win.

Kubu SBY Boediono didukung para ekonom muda dari Universitas Indonesia seperti Chatib Basri, M Ikhsan, dan ekonom yang tergabung dalam partai politik barisan koalisi. Tim ekonomi langsung dipimpin Boediono.

Sementara koalisi pasangan capres-cawapres masih meributkan sistem ekonomi apa yang layak diterapkan di Indonesia, jauh-jauh sebelum ideologi Kapitalisme dan Sosialisme yang muncul akibat sekularisme (pemisahan antara kehidupan dan agama), Islam telah menawarkan dan merealisasikan konsep sistem pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat, cara pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga masyarakat, cara penanganan kemiskinan, perwujudan kesejahteraan hidup, dan lain sebagainya. Islam tidak berangkat dari keprihatinan sosial, yang bersifat nisbi dan kondisional atau berpijak di atas dasar nilai-nilai sosial dan kemanusiaan semata.

Pada artikel ini, akan diberikan gambaran tentang ekonomi Islam sebagai sebuah aturan (nizam) yang dapat memecahkan problematika kehidupan manusia, yang bertitik tolak dari pandangan dasar tentang manusia dan kehidupan ini (aqidah). Islam memandang bahwa manusia memiliki keterikatan dengan hukum dan tata aturan dari Pencipta Alam Semesta ini.

Sistem Ekonomi Islam
Menurut An Nabhani dalam bukunya An-Nizam Al-Iqtishadi Fi Al-Islami, sistem ekonomi Islam ditegakkan di atas tiga asas utama, pertama, konsep kepemilikan (al-milkiyah); Kedua, memanfaatan kepemilikan (al tasharuf fil al-milkiyah); Ketiga, distribusi kekayaan di antara masyarakat (tauzi'u altsarwah bayna al-naas).

Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Allah SWT berfirman:
“..supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian”
(QS al-Hasyr: 7)

Jelaslah, negara dalam Islam berfungsi sangat sentral karena fungsinya sebagai ri'ayatu suuni al-ummah (pengatur kehidupan umat) agar tenang secara politis dan sejahtera secara ekonomi. Jadi tidak sekedar berfungsi minimal (minimalist state) seperti dalam sistem pasar bebas, atau mendominasi perekonomian seperti dalam sistem sosialis. Tidak juga terjerumus terlalu jauh mengatur sehingga memberikan monopoli, proteksi, hak istimewa kepada pengusaha tertentu), atau ekstrim yang lain pemerintah terlalu lemah sehingga tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi penyimpangan para pelaku ekonomi, khususnya dari pihak swasta kuat.

Namun, bisakah sistem ekonomi Islam diterapkan dalam atmosfir demokrasi seperti saat ini??
dan bisakah platform ekonomi yang diusung ketiga capres-cawapres menandingi sistem mulia yang telah dirumuskan oleh Sang Pencipta??

Inilah teman-teman, yang mengawali diskusi kita kali ini.

source from:
An Nabhani dalam bukunya An-Nizam Al-Iqtishadi Fi Al-Islami,

0 comments:

Posting Komentar

 

Mutiara Hadist

“Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku” (Abu Daud dan yang lain dalam hadist Thauban Al-Thawil,)

“Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

“Perumpamaan saya dan para Nabi sebelum saya seperti orang yang membangun satu bangunan lalu dia membaguskan dan membuat indah bangunan itu kecuali tempat batu yang ada di salah satu sudut. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan mereka ta’juk lalu berkata: ‘kenapa kamu tidak taruh batu ini.?’ Nabi menjawab : Sayalah batu itu dan saya penutup Nabi-nabi”(Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a)

“Bani Israel dipimpin oleh Nabi-nabi. Jika seorang Nabi meninggal dunia, seorang nabi lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang sesudahku; hanya para kalifah yang akan menjadi penerusku (Bukhari, Kitab-ul-Manaqib).

“Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

Postingan Terbaru

Recent Komentar