banner syari

Indahnya Persatuan Atas Dasar Islam

Dian Fadilah Hasibuan

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi-USU Jl Binjai km 10,5 Gg. Mesjid No. 12. Medan-Sumut 20352


Saya bukan orang yang berjiwa nasionalis”. Apa yang ada di pikiran kita tatkala dihadapkan pada argumentasi seperti di atas. Sebagian dari kita mungkin menganggap hal tersebut sebagai benih pemberontakan. Sejak jenjang sekolah dasar kita selalu dijejali betapa pentingnya menjadi seorang nasionalis sejati. Memiliki karakter cinta tanah air dan bangga dengan ‘keindonesia’-an yang melekat (atau dilekatkan) sedari lahir. Lalu timbul sebuah kebanggaan atas teritorial dimana bumi berpijak, melabelkan ‘nilai lebih’ pada etnis, klan/kekeluargaan tertentu. Adanya dominasi perasaan berupa kecintaan akan kekuasaan, terutama atas bangsa-bangsa lain, inilah hakikat dari benih nasionalisme.

Keberadaan nasionalisme sebagai perekat individu dalam komunitas masyarakat memiliki beberapa kecacatan. Pertama: dilihat dari alat picunya, yaitu kecenderungan untuk menguasai tampuk kepemimpinan atas bangsa lain sehingga dari sini akan muncul persaingan yang memicu terjadinya adu kekuatan antar manusia. Pada level yang lebih tinggi nasionalisme malah membidani lahirnya konflik. Terbukti dengan munculnya rasisme. Masyarakat Eropa masa lampau menggambarkan terjadinya tindak aniaya yang dilakukan orang-orang kulit putih atas ras kulit hitam. Bahkan fasisme yang menggurita pada era Hitler, Mussolini dan teman-teman, tak pelak sebagai derivat dari api nasionalisme yang kian berkobar.

Kedua: nasionalisme tidak memiliki konsep untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan karena tidak ada jabaran detail bagaimana mengatur struktur sosial, politik, ekonomi secara praktis maupun konseptual.

Ketiga: yang menjadikan nasionalisme tidak layak dijadikan pengikat, tak lain dan tak bukan, karena berseberangan dengan ikatan yang ditawarkan oleh Rasulullah saw. Diriwayatkan dari Abu Dawud bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda (yang artinya): Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashabiyyah (nasionalisme/sukuisme), orang-orang yang berperang karena ashabiyyah serta orang-orang yang mati karena ashabiyyah.

Berbeda jauh dari realitas keberadaan ikatan ideologis (mabda’i). Ikatan ideologis merupakan ikatan permanen karena lahir dari keyakinan atas ide dasar yang digali dengan metode rasional (‘aqîdah ‘aqliyyah). Tentu tidak ada lagi hujjah bagi kita untuk menolak ikatan ideologi Islam. Ikatan model ini telah terbukti mampu menembus sendi-sendi bahasa, ras, warna kulit, kecintaan pada tanah air bahkan isu-isu yang provokatif. Terbukti dari tegaknya institusi Islam, Daulah Khilafah, yang meliputi dua pertiga dunia. Tidak ada ketakutan dari kalangan non-Muslim karena Islam memperlakukan mereka secara adil, tanpa ada unsur pembeda di hadapan hukum Islam. Inilah jenis perekat yang memanusiakan manusia.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.


0 comments:

Posting Komentar

 

Mutiara Hadist

“Akan ada pada umatku 30 pendusta semuanya mengaku nabi, dan saya penutup para Nabi dan tidak ada nabi setelahku” (Abu Daud dan yang lain dalam hadist Thauban Al-Thawil,)

“Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

“Perumpamaan saya dan para Nabi sebelum saya seperti orang yang membangun satu bangunan lalu dia membaguskan dan membuat indah bangunan itu kecuali tempat batu yang ada di salah satu sudut. Kemudian orang-orang mengelilinginya dan mereka ta’juk lalu berkata: ‘kenapa kamu tidak taruh batu ini.?’ Nabi menjawab : Sayalah batu itu dan saya penutup Nabi-nabi”(Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a)

“Bani Israel dipimpin oleh Nabi-nabi. Jika seorang Nabi meninggal dunia, seorang nabi lain meneruskannya. Tetapi tidak ada nabi yang akan datang sesudahku; hanya para kalifah yang akan menjadi penerusku (Bukhari, Kitab-ul-Manaqib).

“Rantai Kerasulan dan Kenabian telah sampai pada akhirnya. Tidak akan ada lagi rasul dan nabi sesudahku”. (Tirmidhi, Kitab-ur-Rouya, Bab Zahab-un-Nubuwwa; Musnad Ahmad; Marwiyat-Anas bin Malik).

Postingan Terbaru

Recent Komentar